Senin, 15 Oktober 2012

Berkelahi Borong-Borong atau Tawuran

Berkelahi borong-borong atau tawuran, seingatku sebelum tahun 1990 tidak dikenal di Makassar. Bila ada konflik yang penyelesaiannya harus berujung adu fisik antar geng preman kampung tertentu, jarang melibatkan semua anggota geng mereka dalam perang antar geng atau kampung, kalaupun sempat terjadi biasanya hanya sekali dua kali, berikutnya person yang punya masalah, saling mencari person yang "bermasalah" dengannya. Person to person. Apa saat mereka bertemu akan terjadi duel sampai ada yang kalah dan mengaku salah, atau malah berpelukan, tergantung lebih tajam mana, lidah mereka atau ujung badiknya, lebih panjang pikirannya atau parangnya.



Ada seloroh para veteran jagoan kampung di Makassar, biasanya mereka jadikan "nasehat" untuk setiap pemuda yang akan keluar kampung, merantau untuk sekolah atau cari kerja. Laki-laki dari Makassar itu harus tajam lidahnya (pandai silat lidah selesaikan konflik), tajam ujung badiknya (pandai bersilat bila konflik harus berujung adu fisik) dan tajam burungnya (iya, burung itu :x maksudnya bila harus menikah di perantauan, bisa "membahagiakan" perempuannya).

Sudah lama mau posting soal tawuran ini, bagi pengalaman waktu terlibat sebagai "penggembira" berkelahi borong-borong. Jaman SMA dengan STM Pembangunan, jaman kuliah dengan seluruh fakultas kecuali kedokteran di Unhas, tapi baru sempat. Akar masalahnya mirip, ego pribadi terusik, dibawa ke level lebih besar. Ego jurusan, ego fakultas, ego kampung dan kedaerahan. Solusinya juga bakal tidak jauh dari solusi yang digunakan pimpinan kampus Unhas tahun 1992 (saat gedung teknik arsitektur dan perkapalan dibakar penyerbu dari fakultas lain). Kampusnya "masuk tipi" bukan karena prestasi akademik dan keilmuan tapi karena kekerasan.

Degradasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Tawuran mahasiswa di UNM dan UMI sedikit banyak mirip dengan penyebab tawuran di UNHAS dulu, yang sejak tahun 2000 hingga kini sudah mereda. Mahasiswa tidak lagi memegang nilai dan perilaku "ksatria" khas bugis-makassar dalam menyelesaikan "konflik". Eja tompi na doang (nanti merah --setelah dimasak-- baru ketahuan itu udang) disalah artikan menjadi: labrak dulu, mikir belakangan. Nilai yang terkandung menurutku malah, hanya udang dan kepiting yang akan berubah warna menjadi merah saat dimasak, makanya pastikan dulu itu memang udang.

Nilai siri' disempitkan menjadi "kehormatan" kelompok fakultas/jurusan, kelompok "suku". Persoalan pribadi dan remeh-temeh "di-upgrade" menjadi masalah kelompok suku atau jurusan/fakultas. Siri' itu bukan rasa malu dan kehormatan di hadapan manusia atau kelompok manusia lainnya, tapi dihadapan Tuhan. Setelah bentrok, terciptalah kondisi "kalah-menang", kemudia berlanjut bibit dendam saat perpeloncoan diturunkan ke mahasiswa baru oleh para senior.

Tahun 1992 saat gedung fakultas teknik UNHAS dibakar oleh "musuh-musuhnya" dari seluruh fakultas kecuali kedokteran, berbagai analisa bermunculan, mulai dari tidak tersedianya "ruang publik" memadai agar para mahasiswa dari seluruh fakultas bisa berinteraksi dan menjalin hubungan.

Sepertinya yang membuat tawuran di Unhas kini reda, karena ada sanksi tegas dipecat dari kampus dan dedengkot mahasiswa teknik sudah mulai memacari mahasiswi fakultas lain selain mahasiswi kedokteran.

Kebetulan mengalami keduanya, menjadi mahasiswa ilmu komunikasi di fakultas sospol dan menjadi mahasiswa arsitektur di fakultas teknik. Saat dipelonco di sospol kami terus diwanti-wanti, hati-hati terhadap anak teknik, mereka brutal dan siap menyerang siapa saja, utamanya saat perpeloncoan begini. Jadi heran sendiri, segitu was-wasnya dengan anak-anak fakultas teknik, yang kemudian terjawab waktu aku diplonco sebagai mahasiswa teknik.

Sebenarnya maba teknik (tikus-tikus teknik kata para senior) berjumlah 5000-6000 orang itu tidak berniat menyerbu fakultas lain di hari terakhir pozma, mereka patuh pada seniornya untuk mengumpulkan "bintang". Di hari terakhir pozma, kelompok mahasiswa yang dibagi menjadi gerombolan-gerombolan dikasih "game berpacu meraih bintang" yang paling banyak dapat bintang juara, yang tidak dapat, hukuman berat menanti.

Parahnya, oleh para senior, entah bagaimana bintang-bintang dari karton itu bisa tergantung di dalam kantor-kantor himpunan mahasiswa non-fakultas teknik. 5000-6000 orang gundul tiba-tiba sporadis berhamburan mencari bintang di kantor himpunan mahasiswa fakultas lain apa tidak nampak seperti penyerbuan? :x

Saat mulai kuliah, anak-anak teknik angkatanku bila terlibat tawuran dengan fakultas lain, sebab awalnya selalu untuk "lucu-lucuan". Ekstra kurikuler katanya, karena semua SKS sebelum tahun 1995 (sebelum dipadatkan jumlah SKS-nya) habis untuk kuliah semua. Dan saat perpeloncoan tidak pernah sekalipun maba teknik diwanti-wanti untuk memusuhi fakultas lain atau diberi warisan dendam kekalahan saat tawuran.

Jangan Wariskan Dendam
Mending para senior berbagi info ke juniornya, di fakultas mana yang banyak perempuan asyik untuk dijadikan pacar, siapa tau malah jodoh x) Para senior di UMI dan UNM kalau memang ingin berdamai dan tidak ingin semua alumni kampusnya tertolak di dunia kerja karena hobby tawuran, sebaiknya mulai berhenti mewariskan dendam pada juniornya.

Beberapa tahun lalu alumni kampus UMI pernah merasakan sanksi sosial yang diberikan oleh perusahaan swasta dan lembaga pemerintah se-Sulawesi Selatan. Alumni kampus yang hobi tawuran jadi kesulitan mendapatkan pekerjaan. Satu atau beberapa orang yang ingin menjadi jagoan di fakultas atau jurusannya, malah mengorbankan seluruh alumni kampus. 

Sanksi ini juga bisa efektif untuk SMA-SMA yang suka tawuran. Alumninya di black-list untuk mendaftar di kampus-kampus.

Merasa jago, jawara tanpa tanding itu hanya bisa dinikmati paling lama 4 tahun selama di kampus sebelum di drop-out kalau tidak bisa sarjana dalam 5 tahun, dan setelah keluar kampus siapa yang tahu kalian itu jagoan? Memangnya apa pengaruh untuk kebaikan diri kalian sendiri label "jagoan" dan kebaikan orang sekitar dengan itu? Itu bila berada dalam posisi "menang" tawuran, bila kalah bahkan terbunuh? Mate jangang sikayu (anak ayam mati seekor) tidak mati untuk sesuatu yang benar-benar bisa membuatmu bangga dihadapan Tuhan saat dimintai pertanggung jawaban semasa hidup.

Aku dan beberapa mahasiswa fakultas teknik Unhas saat melihat gedung tempat kuliah dibakar, jadi korban "keisengan" kami sendiri, meneteskan air mata. Entah, akibat tidak bisa menerima kenyataan bahwa hari itu kami kalah, atau rasa "cinta" pada fakultas yang berhasil tumbuh lewat perpeloncoan "brutal" dan full kontak fisik di fakultas teknik masa itu, yang jelas tidak berbuah warisan dendam. Kami tetap menyanyikan "mars teknik" dan "we are the champion" tanpa harus membuat fakultas lain menjadi pecundang untuk menjadi juara.

Berbaurlah
Komposisi mahasiswa baru Unhas sampai tahun 1995 yang masih sempat aku perhatikan sebagian besar diisi oleh alumni SMA I, SMA II, SMA negeri favorit lainnya, kemudian SMA-SMA swasta dan siswa dari daerah selain kota Makassar.

Anak-anak daerah yang masuk tempat baru, kecenderungannya tentu mencari kawan sekampung. Berkumpul dengan kawan sekampung memang memberi rasa aman dan nyaman. Lalu untuk apa kalian merantau bila hanya untuk berkumpul dengan kawan sekampung? Bukan untuk meluaskan silaturrahmi? Mending juga tetap di daerah masing-masing kalau begitu.

Perpeloncoan di fakultas teknik, yang keras dan kejam melahirkan perasaan "sependeritaan" antar sesama mahasiswa baru, sekat orang bugis, orang makassar, orang toraja, orang mandar, lebur menjadi mahasiswa teknik. Efek sampingnya tentu "snob" atau kesombongan fakultas. Tapi setidaknya sudah tidak ada lagi fraksi kedaerahan di tingkat fakultas, sisa meleburnya ke fraksi "satu kampus", kemudian saat pertemuan nasional antar mahasiswa lebur lagi dari satu kampus menjadi satu propinsi, ke tingkat internasional, lebur lagi, satu Indonesia.

Bila tidak bisa menempatkan kepentingan pada skala lebih besar lebih di atas dari skala yang lebih kecil, kita akan begini-begini terus. Berbaurlah, kenali skala dan sesuaikan.


0 komentar:

Posting Komentar

Pamopporanga, tarimakasih cika..