Tampilkan postingan dengan label latoa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label latoa. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Januari 2012

Sepintas lalu Sejarah Tana Bone #1


Sumber-sumber utama dari sejarah Sulawesi Selatan dapat diperoleh dalam berbagai macam lontara peninggalan-peninggalan tertulis orang Bugis-Makassar dari zaman dahulu. Lontara dapat dijadikan pustaka suku Bugis-Makassar zaman lampau.

pertunjukan I La Galigo di Fort Rotterdam, 23-24 April 2011 Makassar

Menurut jenisnya kepustakaan lontara dapat dibagi menjadi dua bagian:
(1) Sure'galigo
(2) Lontara'

Tema dari jenis lontara yang disebut sure'galigo sesungguhnya cerita-cerita mitologis yang tadinya secara lisan dituturkan dari generasi ke generasi. Setelah sistem tulisan/aksara yang juga disebut dengan huruf lontara' dikenal, dicatatlah cerita-cerita mitologi itu pertama-tama di daun lontar, kemudian saat telah mengenal kertas, beberapa dituliskan di atas kertas menggunakan pena.

Sure'galigo melukiskan kisah tentang dewa-dewa atau manusia-manusia luar biasa. Digambarkan permulaan terciptanya dunia dan kepentingan dewa-dewa di langit guna menempatkan manusia titisan dewa menjadi penghuni dan pengatur tata-tertib dan kehidupan di muka bumi.

Tokoh-tokoh dalam Galigo, seperti Batara-Guru, We Nyili' Timo', Batara Lattu', We Opu Sengngeng, We Cuday, Sawerigading, dan sebagainya digambarkan sebagai tokoh-tokoh manusia istimewa, titisan para dewa di Botting-Langi' (puncak langit). Sepanjang kisahnya tidak terdapat adanya keterlibatan manusia biasa, semuanya adalah kisah dewa-dewa dan semuanya terjadi menurut suratan para dewata.

Manusia dewa yang digambarkan itu turun atau diturunkan dari langit. Mereka tak mampu mengatasi kesepiannya, dan mereka pun menemui orang-orang bumi, yang juga digambarkan sebagai orang-orang luar biasa.

Mereka ini sampai ke permukaan bumi setelah menembus dari dunia bawah, sehingga terjadilah pertemuan tokoh-tokoh istimewa itu. Merekalah yang menurunkan penguasa-penguasa di bumi, memberikan aturan-aturan ketertiban untuk kehidupan di dunia.


Sumber: LATOA, Prof.Dr. Mattulada (UGM Press 1985)

Jumat, 13 Januari 2012

Panngaderreng atau Panngadakkang

Ada kalanya orang memahami konsep panngaderreng sama dengan aturan-aturan adat dan sistem norma saja. Panngaderreng selain meliputi aspek-aspek yang disebut sistem norma dan aturan-aturan adat, yaitu hal-hal ideal yang mengandung nilai-nilai normatif (pajolloro: dan kearifan lokal), juga meliputi hal-hal dimana seseorang dalam tingkah lakunya dan dalam memperlakukan dirinya (pajolloro: membawa dirinya) dalam kegiatan dan pergaulan sosial, bukan saja merasa "harus" melakukannya, melainkan jauh lebih dari pada itu, ialah adanya semacam "larutan perasaan" bahwa seseorang itu bagian integral dari panngaderreng. Panngaderreng  adalah bahagian dari dirinya sendiri dalam keterlibatannya dengan keseluruhan pranata-pranata masyarakatnya.

Di daerah Sulawesi Selatan (A. Zainal Abidin Faried Thn 1969 hal. 4) sewaktu agama Islam telah menampakkan pengaruhnya, dikenallah istilah ade' (Bugis) ada' (Makassar, Mandar) dan sa'dan (Toraja). Sebelumnya telah dikenal istilah becci (alat meluruskan) (pajolloro: hukum kata manusia modern) yang terkenal dengan ungkapan:

  • Bilamana becci' kendor (tidak dipatuhi) maka rusaklah negeri
  • Tidak memutik pucuk nangka (simbol kejujuran)
  • Bersembunyi kebenaran
  • Dibenarkan yang salah, disalahkan yang benar. (pajolloro: seperti Indonesia sekarang?)
  • Saling makan-memakanlah orang bagai ikan
  • Saling jual-menjual, beli-membeli (pajolloro: ketika harga diri dan martabat dikonversi menjadi label harga)
  • Dapur ditumbuhi rumput-rumput
  • Lesung tertelungkup, niru digantung, alu disangkutkan.

Kamis, 12 Januari 2012

Siri' na Pacce

  1. Siri' mi ri onroang ri lino. Maknanya, hanya untuk siri' itu sajalah kita hidup di dunia. Dalam ungkapan ini, termaktub arti siri' sebagai hal yang memberi indentitas sosial dan martabat kepada seseorang. Hanya kalau ada martabat atau harga diri, barulah hidup ini ada artinya. Tambahan opini pribadi pajolloro: terima kasih kepada kapitalis-kapitalis, kini martabat dan harga diri itu ada "harganya" dan bisa dibeli, nanti bermatabat kalau kaya raya, nanti dihormati kalau banyak uang. Salah satu sumber utama mental korup di Indonesia.
  2. Mate ri siri'na. Mati dalam siri' yakni mati demi menegakkan martabat atau harga diri. Mati yang demikian dianggap suatu hal yang terpuji dan terhormat.
  3. Mate siri'. Artinya orang yang sudah hilang harga dirinya dan tak lebih seperti bangkai hidup, mayat berjalan. Orang Bugis-Makassar yang merasa mate siri' akan melakukan jallo' (amuk), hingga ia mati sendiri. Jallo yang demikian disebut napentengi siri'na, artinya ditegakkannya kembali harga dirinya.
Pesse atau Pacce
Ia sempugi'ta rekkua de'na siri'na engka messa passena. Sesama kita orang bugis, bilamana siri' itu tak ada lagi padanya, maka niscaya masih ada pesse-nya.

Pesse atau pacce, padanannya dalam bahasa Indonesia kira-kira sama dengan empati. Kepedulian tanda ikut prihatin yang terwujud dalam bentuk perbuatan membantu, meringankan dan konkrit. Bukan hanya simpati berupa kata-kata ikut prihatin.

"....ada empat hal yang memperbaiki kekeluargaan dan (pergaulan hidup).
  1. kasih sayang dalam keluarga 
  2. saling memaafkan yang kekal 
  3. tak segan saling memberi pertolongan / pengorbanan demi keluhuran.
  4. saling mengingatkan untuk berbuat kebajikan
latoa, halaman 47

Selasa, 10 Januari 2012

Lontara' Wajo'

Arengkalinga manekko
Riase' ri-awa, urai'
Alau', maniang, manorang
Sini Ilolo', sini Iluttu'
Sini mmakaja ri tasi'
Sini mmakaja ri dare'
Upasawe' manettoko
Puang nene' mangkau'ku
Ri-gosali padang lupa
Liisuga pangali'ku
Natu' duange solo'?
Naleng lisu gau' maja'ku
Apa' iapa arung
Pperajai tana, pura
Nanange-nangei maja 'E
Naciukennge gau' maja' 'E


Dengarkanlah, engkau semua,
Di atas, di bawah, di barat,
Timur, Selatan dan Utara,
Semua yang merayap dan yang terbang,
Semua yang mengembara di lautan,
Semua yang mengembara di daratan,
Saya menyeru kepada kalian,
Nenek moyang pertuananku,
Hingga mereka yang terlah berpulang,
Ke negeri maut, padang belantara,
Akan kembalikah sarung dan bajuku?
Yang dibawa hanyut oleh arus?
Mengembalikan kelakuan burukku,
Karena baru patut ia menjadi raja,
Mengembangkan negara makmur, setelah
merenang-renangi yang buruk,
Dengan sadar meninggalkan keburukan.

Dari buku tulisan almarhum Prof. Mattulada, menemani pajolloro jaga orang sakit, yang robekmi sampul depanna.