Rabu, 11 Juli 2012

D. Zawawi Imron, nampak lebih Bugis dari orang Bugis

Saat menggali kearifan lokal Bugis, Makassar, Luwuk, Mandar dan Toraja lalu menerjemahkannya ke dalam puisi. Semalam beruntung bisa hadir di peluncuran buku puisinya "Mata Badik Mata Puisi" di Graha Pena. Tadinya ingin mengulas "pengalaman" saat berada di sana seperti mengulas pertandingan sepak bola. Gagal!

Yang terjadi malah aku tallang bu'buru' (jatuh tenggelam hingga ke dasar). Berikut beberapa "keping mutiara" yang bisa aku kumpulkan selama "tenggelam".

D. Zawawi Imron berusaha tetap NOL dan menulis puisi dengan tinta cinta pada Ibunya
Tamatan SR atau SD, tanpa tahu rumus-rumus bagaimana menulis puisi, ngawur saya sangat sempurna. Ketika saya menulis puisi itu, saya merubah diri saya sendiri, yang menulis itu anak ibu saya. Kalau Zawawi Imron yang menulis puisi, boleh jelek, tapi kalo yang bagus itu anak ibu saya.

Saya membaca buku-buku dari barat, tapi tidak banyak yang cocok untuk kugunakan, Ada kutipan kearifan lokal dari Bugis: Berpikirlah kamu dengan pikiran yang jernih, maka kebaikan akan menyelimuti hatimu. Semangat itulah yang aku gunakan untuk menulis puisi, membuatku merasa tetap bayi, tetap anak-anak belasan tahun.

Penyair Libanon beragama Kristen, Ilya Abu Madi, dalam puisinya: Barang siapa dalam dirinya tidak punya kepekaan rasa keindahan, ia tidak bisa melihat wujud ciptaan Tuhan sebagai sesuatu yang indah.

Al-Ghazali: "Keindahan yang mampu dilihat oleh mata kepala, itu bisa kalah oleh keindahan yang mampu dilihat kumbang dan kupu-kupu dalam melihat bunga, namun keindahan yang subtansial adalah keindahan yang dapat dilihat oleh mata batin manusia."




Do'a D. Zawawi Imron di penutupan
Kami berkumpul di tempat ini
Kami seolah-olah melupakan hiruk pikuk di sekitar kami
Untuk merenungkan betapa indahnya hati nurani
Betapa indahnya nawa-nawa pattuju (niat dan laku kebajikan)
yang diwariskan nenek moyang kita di tanah Bugis ini

Karena itu bersihkanlah hati kami untuk melanjutkan
rasa persaudaraan, rassa pesse, rasa pacce (sependeritaan, persaudaraan)
Bahwa siapa yang saya gigit cangkirnya
Yang saya minum kopinya adalah saudara saya
peddina atinna peddina atingku (perih hatinya, juga perih hatiku)

Berilah kepada kami kemampuan untuk mengasah hati nurani kami
sehingga menjadi hati macinnong (hati yang jernih)
dan dengan hati macinnong itu kami siap untuk
membuat Indonesia masa depan
untuk menjadi Indonesia yang pantas
untuk menjadi tempat bahagia untuk anak-anak kami

Kami lahir di Indonesia
minum airnya menjadi darah kami
kami makan beras dan buah-buahan Indonesia
menjadi daging kami
Kami menghirup udara indonesia
menjadi nafas kami
Kami bersujud di atas bumi Indonesia,
bumi indonesia adalah sajadah kami
Dan bila tiba saatnya kami mati
kami akan tidur dalam pelukan bumi Indonesia

Berikanlah kepada kami rasa cinta pada tanah air
Jadikanlah bumi indonesia ini menjadi tempat kami
menebar senyuman, berkasih sayang, berpelukan
Tanah air yang indah jangan sampai kami isi dengan maksiat dan permusuhan,
sehingga ibu pertiwi akan menangis selamanya
Jadikanlah bumi indonesia ini menjadi ladang kami
untuk selalu menebar kedamaian
sehingga masyarakat adil dan makmur
benar benar dapat pernah terjadi
untuk anak cucu kami

amin

Senin, 30 Januari 2012

Sepintas lalu Sejarah Tana Bone #1


Sumber-sumber utama dari sejarah Sulawesi Selatan dapat diperoleh dalam berbagai macam lontara peninggalan-peninggalan tertulis orang Bugis-Makassar dari zaman dahulu. Lontara dapat dijadikan pustaka suku Bugis-Makassar zaman lampau.

pertunjukan I La Galigo di Fort Rotterdam, 23-24 April 2011 Makassar

Menurut jenisnya kepustakaan lontara dapat dibagi menjadi dua bagian:
(1) Sure'galigo
(2) Lontara'

Tema dari jenis lontara yang disebut sure'galigo sesungguhnya cerita-cerita mitologis yang tadinya secara lisan dituturkan dari generasi ke generasi. Setelah sistem tulisan/aksara yang juga disebut dengan huruf lontara' dikenal, dicatatlah cerita-cerita mitologi itu pertama-tama di daun lontar, kemudian saat telah mengenal kertas, beberapa dituliskan di atas kertas menggunakan pena.

Sure'galigo melukiskan kisah tentang dewa-dewa atau manusia-manusia luar biasa. Digambarkan permulaan terciptanya dunia dan kepentingan dewa-dewa di langit guna menempatkan manusia titisan dewa menjadi penghuni dan pengatur tata-tertib dan kehidupan di muka bumi.

Tokoh-tokoh dalam Galigo, seperti Batara-Guru, We Nyili' Timo', Batara Lattu', We Opu Sengngeng, We Cuday, Sawerigading, dan sebagainya digambarkan sebagai tokoh-tokoh manusia istimewa, titisan para dewa di Botting-Langi' (puncak langit). Sepanjang kisahnya tidak terdapat adanya keterlibatan manusia biasa, semuanya adalah kisah dewa-dewa dan semuanya terjadi menurut suratan para dewata.

Manusia dewa yang digambarkan itu turun atau diturunkan dari langit. Mereka tak mampu mengatasi kesepiannya, dan mereka pun menemui orang-orang bumi, yang juga digambarkan sebagai orang-orang luar biasa.

Mereka ini sampai ke permukaan bumi setelah menembus dari dunia bawah, sehingga terjadilah pertemuan tokoh-tokoh istimewa itu. Merekalah yang menurunkan penguasa-penguasa di bumi, memberikan aturan-aturan ketertiban untuk kehidupan di dunia.


Sumber: LATOA, Prof.Dr. Mattulada (UGM Press 1985)

Jumat, 13 Januari 2012

Panngaderreng atau Panngadakkang

Ada kalanya orang memahami konsep panngaderreng sama dengan aturan-aturan adat dan sistem norma saja. Panngaderreng selain meliputi aspek-aspek yang disebut sistem norma dan aturan-aturan adat, yaitu hal-hal ideal yang mengandung nilai-nilai normatif (pajolloro: dan kearifan lokal), juga meliputi hal-hal dimana seseorang dalam tingkah lakunya dan dalam memperlakukan dirinya (pajolloro: membawa dirinya) dalam kegiatan dan pergaulan sosial, bukan saja merasa "harus" melakukannya, melainkan jauh lebih dari pada itu, ialah adanya semacam "larutan perasaan" bahwa seseorang itu bagian integral dari panngaderreng. Panngaderreng  adalah bahagian dari dirinya sendiri dalam keterlibatannya dengan keseluruhan pranata-pranata masyarakatnya.

Di daerah Sulawesi Selatan (A. Zainal Abidin Faried Thn 1969 hal. 4) sewaktu agama Islam telah menampakkan pengaruhnya, dikenallah istilah ade' (Bugis) ada' (Makassar, Mandar) dan sa'dan (Toraja). Sebelumnya telah dikenal istilah becci (alat meluruskan) (pajolloro: hukum kata manusia modern) yang terkenal dengan ungkapan:

  • Bilamana becci' kendor (tidak dipatuhi) maka rusaklah negeri
  • Tidak memutik pucuk nangka (simbol kejujuran)
  • Bersembunyi kebenaran
  • Dibenarkan yang salah, disalahkan yang benar. (pajolloro: seperti Indonesia sekarang?)
  • Saling makan-memakanlah orang bagai ikan
  • Saling jual-menjual, beli-membeli (pajolloro: ketika harga diri dan martabat dikonversi menjadi label harga)
  • Dapur ditumbuhi rumput-rumput
  • Lesung tertelungkup, niru digantung, alu disangkutkan.